Masalah-masalah KB di Indonesia
Sejak program KB menjadi program nasional pada tahun 1970, berbagai cara kontrasepsi telah ditawarkan dalam pelayanan KB di Indonesia, mulai dari cara tradisional, barier, hormonal (pit, suntikan, susuk KB). AKDR, dan kontrasepsi mantap (kontap). Dari sudut pandang hak-hak pasien, maka segala cara kontrasepsi yang ditawarkan haruslah mendapat persetujuan pasangan suami isteri (PASUTRI) setelah memperoleh penjelasan (informed consent), dengan cara lisan untuk cara-cara non-bedah dan secara tertulis untuk cara kontap. Seorang dokter harus memberikan konseling kepada PASUTRI atau calon akseptor, dengan penjelasan lebih dahulu tentang indikasi kontra, efektivitas dan keamanan setiap jenis kontrasepsi dan akhirnya PASUTRI lah yang menentukan pilihannya.
Dari cara-cara kontrasepsi tersebut diatas, maka cara AKDR dan kontap menjadi bahan diskusi yang hangat, terutama karena menyangkut aspek agama dan hukum. Dahulu dianggap mekanisme kerja AKDR adalah sebagai kontra nidasi, sehingga menimbulkan dilema bagi seorang dokter. Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani (KODEKI, pasal 10), bahkan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan (LSDI, butir 9). Jadi pemasangan AKDR dianggap mengupayakan pemusnahan telor yang telah dibuahi. Karena LSDI telah dikukuhkan dengan PP No. 26 Tahun 1960, maka seorang dokter yang melanggar sumpah tersebut berarti telah melanggar peraturan pemerintah, sehingga dapat diancam dengan hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun KB merupakan program nasional, maka sanksi terhadap pelanggaran tersebut agaknya tidak diberlakukan. Kini telah dapat dibuktikan bahwa AKDR yang mengandung copper cenderung bekerja sebagai kontrasepsi, sehingga tidak perlu lagi dipermasalahkan.
Cara kontap baik pada pria maupun pada wanita telah banyak dilakukan di Indonesia, baik atas indikasi medik maupun sosial-ekonomi dengan tujuan kontrasepsi yang permanen. Peraturan perundangan-undangan tentang kontap belum ada di Indonesia. Pendapat tokoh-tokoh agama beraneka ragam dan kenyataannya lebih banyak yang menentang cara kontrasepsi itu karena mengurangi harkat dan kodrat seseorang. Dari segi etik kedokteran, cara kontap dapat dibenarkan sesuai dengan KODEKI butir 10, yaitu dengan tujuan melindungi hidup insani dan mengutamakan kesehatan penderita. Namun tidaklah etis menawarkan kontap pada saat ibu sedang mengalami persalinan patologik. Dari segi hukum kontap dapat diangap melanggar KUHP pasal 534 yang melarang usaha pencegahan kehamilan dan melanggar pula pasal 351 karena tindakan tersebut merupakan muti Iasi alat tubuh. Juga dapat dituduh melakukan penganiayaan, sehingga dapat dikenakan hukuman atau dituntut ganti rugi.
Dalam UU RI No. 10 Tahun 1992 tantang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera terdapat butir-butir tentang penye-Ienggaraan keluarga berencana dari segi hak PASUTRI dan etik.
Pasal 17
(1) Pengaturan kelahiran diselenggarakan dengan tata cara yang berdaya guna dan berhasil guna serta dapat diterima oleh pasangan suami-isteri sesuai dengan pilihannya.
(2) Penyelenggaran pengaturan kelahiran dilakukan dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan dari segi kesehatan, etik dan agama yang dianut penduduk yang bersangkutan.
Penjelasan
(1) Pelaksanaan pengaturan kelahiran harus selalu memperhatikan harkat dan martabat manusia serta mengindahkan nilai-nilai agama dan sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat.
(2) Untuk menghindarkan hal yang berakibat negatif, setiap alat, obat dan cara yang dipakai sebagai pengaturan kehamilan harus aman dari segi medik dan dibenarkan oleh agama, moral dan etika.
Pasal 18
Setiap pasangan suami-isteri dapat menentukan pilihannya dalam meren-canakan dan mengatur jumlah anak, dan jarak antara kelahiran anak yang berlandaskan pada kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap generasi sekarang maupun generasi mendatang.
Pasal 19
Suami dan isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama serta kedudukan yang sederajat dalam menentukan cara pengaturan kelahiran.
Penjelasan
Suami dan isteri harus sepakat mengenai pengaturan kehamilan dan cara yang akan dipakai agar tujuannya tercapai dengan baik. Keputusan atau tindakan sepihak dapat menimbulkan kegagalan atau masalah di kemudian hari. Kewajiban yang sama antara keduanya berarti juga, bahwa apabila isteri tidak dapat memakai alat, obat dan cara pengaturan kelahiran, misalnya karena alasan kesehatan, maka suami mempergunakan alat, obat dan cara yang dipe-runtukkan bagi laki-laki.
Pasal 20
(1) Penggunaan alat, obat dan cara pengaturan kehamilan yang menimbulkan risiko terhadap kesehatan dilakukan atas petunjuk dan atau oleh tenaga kesehatan yang berwenanng untuk itu.
(2) Tata cara penggunaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut standar profesi kesehatan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Penjelasan
(1) Mengingat dalam pelaksanaan penggunaan obat, alat cara pengaturan kehamilan berkaitan erat dengan masalah kesehatan, agar penggunaan alat, obat dan cara pengaturan kchamilan tersebut tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan, maka cara penggunaan atau metode pelaksanaan tesebut dilakukan atas petunjuk dan atau oleh tenaga kesehatan.
Dengan demikian hak asasi peserta keluarga berencana tetap terjamin dengan pelaksanaan tindakan yang baik dan profesional oleh tenaga kesehatan.
Tenaga kesehatan disini adalah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan dan olch karcnanya tenaga kesehatan dalarn melakukan kewenagannya harus tetap berlandaskan pada standar profesi kesehatan yang berlaku. Tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan keluarga berencana memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar profesi yang telah ditentukan.
Setiap orang memperoleh ganti kerugian akibat kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan keluarga berencana.
Pasal 21
Mempertunjukkan dan atau memperagakan alat, obat dan cara pengaturan kehamilan hanya dapat dilakukan oleh tenaga yang berwenang dibidang penyelenggaraan keluarga berencana serta dilaksanakan di tempat dan dengan cara yang layak.
Penjelasan
Pasal ini dimaksud untuk melindungi masyarakat dari tindakan yang dapat menurunkan moral bangsa Indonesia. Meskipun dalam undang-undang ini diperbolehkan untuk mempertunjukkan dan atau memperagakan alat, obat dan cara pengaturan kehamilan, namun dalam pelaksanaannya hanya terbatas pada tujuan keluarga berencana yang dilakukan oleh tenaga berwenang untuk itu dan tetap memperhatikan tata nilai kehidupan bangsa Indonesia.

Dari cara-cara kontrasepsi tersebut diatas, maka cara AKDR dan kontap menjadi bahan diskusi yang hangat, terutama karena menyangkut aspek agama dan hukum. Dahulu dianggap mekanisme kerja AKDR adalah sebagai kontra nidasi, sehingga menimbulkan dilema bagi seorang dokter. Seorang dokter harus senantiasa mengingat akan kewajiban melindungi hidup insani (KODEKI, pasal 10), bahkan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan (LSDI, butir 9). Jadi pemasangan AKDR dianggap mengupayakan pemusnahan telor yang telah dibuahi. Karena LSDI telah dikukuhkan dengan PP No. 26 Tahun 1960, maka seorang dokter yang melanggar sumpah tersebut berarti telah melanggar peraturan pemerintah, sehingga dapat diancam dengan hukuman sesuai dengan peraturan yang berlaku. Namun KB merupakan program nasional, maka sanksi terhadap pelanggaran tersebut agaknya tidak diberlakukan. Kini telah dapat dibuktikan bahwa AKDR yang mengandung copper cenderung bekerja sebagai kontrasepsi, sehingga tidak perlu lagi dipermasalahkan.
Cara kontap baik pada pria maupun pada wanita telah banyak dilakukan di Indonesia, baik atas indikasi medik maupun sosial-ekonomi dengan tujuan kontrasepsi yang permanen. Peraturan perundangan-undangan tentang kontap belum ada di Indonesia. Pendapat tokoh-tokoh agama beraneka ragam dan kenyataannya lebih banyak yang menentang cara kontrasepsi itu karena mengurangi harkat dan kodrat seseorang. Dari segi etik kedokteran, cara kontap dapat dibenarkan sesuai dengan KODEKI butir 10, yaitu dengan tujuan melindungi hidup insani dan mengutamakan kesehatan penderita. Namun tidaklah etis menawarkan kontap pada saat ibu sedang mengalami persalinan patologik. Dari segi hukum kontap dapat diangap melanggar KUHP pasal 534 yang melarang usaha pencegahan kehamilan dan melanggar pula pasal 351 karena tindakan tersebut merupakan muti Iasi alat tubuh. Juga dapat dituduh melakukan penganiayaan, sehingga dapat dikenakan hukuman atau dituntut ganti rugi.
Dalam UU RI No. 10 Tahun 1992 tantang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera terdapat butir-butir tentang penye-Ienggaraan keluarga berencana dari segi hak PASUTRI dan etik.
Pasal 17
(1) Pengaturan kelahiran diselenggarakan dengan tata cara yang berdaya guna dan berhasil guna serta dapat diterima oleh pasangan suami-isteri sesuai dengan pilihannya.
(2) Penyelenggaran pengaturan kelahiran dilakukan dengan cara yang dapat dipertanggung jawabkan dari segi kesehatan, etik dan agama yang dianut penduduk yang bersangkutan.
Penjelasan
(1) Pelaksanaan pengaturan kelahiran harus selalu memperhatikan harkat dan martabat manusia serta mengindahkan nilai-nilai agama dan sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat.
(2) Untuk menghindarkan hal yang berakibat negatif, setiap alat, obat dan cara yang dipakai sebagai pengaturan kehamilan harus aman dari segi medik dan dibenarkan oleh agama, moral dan etika.
Pasal 18
Setiap pasangan suami-isteri dapat menentukan pilihannya dalam meren-canakan dan mengatur jumlah anak, dan jarak antara kelahiran anak yang berlandaskan pada kesadaran dan rasa tanggung jawab terhadap generasi sekarang maupun generasi mendatang.
Pasal 19
Suami dan isteri mempunyai hak dan kewajiban yang sama serta kedudukan yang sederajat dalam menentukan cara pengaturan kelahiran.
Penjelasan
Suami dan isteri harus sepakat mengenai pengaturan kehamilan dan cara yang akan dipakai agar tujuannya tercapai dengan baik. Keputusan atau tindakan sepihak dapat menimbulkan kegagalan atau masalah di kemudian hari. Kewajiban yang sama antara keduanya berarti juga, bahwa apabila isteri tidak dapat memakai alat, obat dan cara pengaturan kelahiran, misalnya karena alasan kesehatan, maka suami mempergunakan alat, obat dan cara yang dipe-runtukkan bagi laki-laki.
Pasal 20
(1) Penggunaan alat, obat dan cara pengaturan kehamilan yang menimbulkan risiko terhadap kesehatan dilakukan atas petunjuk dan atau oleh tenaga kesehatan yang berwenanng untuk itu.
(2) Tata cara penggunaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan menurut standar profesi kesehatan sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Penjelasan
(1) Mengingat dalam pelaksanaan penggunaan obat, alat cara pengaturan kehamilan berkaitan erat dengan masalah kesehatan, agar penggunaan alat, obat dan cara pengaturan kchamilan tersebut tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan, maka cara penggunaan atau metode pelaksanaan tesebut dilakukan atas petunjuk dan atau oleh tenaga kesehatan.
Dengan demikian hak asasi peserta keluarga berencana tetap terjamin dengan pelaksanaan tindakan yang baik dan profesional oleh tenaga kesehatan.
Tenaga kesehatan disini adalah sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan dibidang kesehatan dan olch karcnanya tenaga kesehatan dalarn melakukan kewenagannya harus tetap berlandaskan pada standar profesi kesehatan yang berlaku. Tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan keluarga berencana memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan standar profesi yang telah ditentukan.
Setiap orang memperoleh ganti kerugian akibat kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam memberikan pelayanan keluarga berencana.
Pasal 21
Mempertunjukkan dan atau memperagakan alat, obat dan cara pengaturan kehamilan hanya dapat dilakukan oleh tenaga yang berwenang dibidang penyelenggaraan keluarga berencana serta dilaksanakan di tempat dan dengan cara yang layak.
Penjelasan
Pasal ini dimaksud untuk melindungi masyarakat dari tindakan yang dapat menurunkan moral bangsa Indonesia. Meskipun dalam undang-undang ini diperbolehkan untuk mempertunjukkan dan atau memperagakan alat, obat dan cara pengaturan kehamilan, namun dalam pelaksanaannya hanya terbatas pada tujuan keluarga berencana yang dilakukan oleh tenaga berwenang untuk itu dan tetap memperhatikan tata nilai kehidupan bangsa Indonesia.
Komentar
Posting Komentar